Tahun 2014 ini, genap sudah
organisasi pencinta alam di Indonesia berumur 54 thun. Sejak kehadirannya pada
dekade 60-an, organisasi pencinta alam di Indonesia makin meningkat dengan
pesat. Baik itu perorangan maupun kelompok. Peminatnya terus bertambah , tidak
hanya dari kota-kota besar tapi sudah tersebar sampai ke pelosok Nusantara.
Menurut catatan PIPA ( Pusat Informasi Pecinta Alam, suatu wadah yang pernah
didirikan oleh LIPI – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ada sekitar 1500
perhimpunan pencinta alam di Indonesia. Itu pada tahun 1995, entah sekarang,
yang jelas statistik itu pasti membengkak lagi.
Namun seiring dengan bertambahnya
bentuk kegaitan prestasi dan prestise meningkat, ternyata banyak sekali
perhimpunan pencinta alam yang ada sekaran tidak mengetahui sejarah asal usul
pencinta alam itu sendiri. Kalau seseorang tidak mengetahui apa yang di cintai,
apakah mungkin akan tumbuh rasa cinta pada sesuatu tersebut ? Hal ini
mengakibatkan banyaknya perhimpunan pencinta alam yang hanya sekedar mengusung
simbol-simbol serta kebanggaan dengan memasang berbagai atribut atau aksesoris
agar nampak seperti pencinta alam, tetapi perilakunya tidak mencerminkan hal
itu.
Padahal di awal kehadirannya,
organisasi yang “ lahir “ di atas kemelut politik ini telah memiliki visi dan
misi yang jelas, yang paling sederhana adalah pembentukan character building.
Di salah satu artikelnya yang berjudul Menaklukkan Gunung Slamet yang terangkum
dalam buku Zaman Peralihan Soe Hok Gie ( Alm. ) menulis seperti ini...
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan
obyeknya, dan mencintai tanah air Indonesia dapat di tumbuhkan dengan mengenal
Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda
harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itu kami naik gunung.
Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar di samping itu untuk
menimbulkan daya tahan fisik yang tinggi. “ Libur ini kami ingin mendaki gunung
yang berat”. Kami terangkan pada mereka…
Berdasarkan tulisan di atas, almarhum memahami benar bahwa orang yang bergerak
dalam kegiatan autdoor seperti ini umumnya memiliki kemampuan fisik, sikap
serta intelegensia yang baik. Dan itu jelas merupakan modal yang bagus untuk
pembangunan. Namun yang terjadi sekarang justru kebalikannya. Banyak yang
mengklaim dirinya pencinta alam tetapi dalam kegiatannya sebenarnya justru
malah merusak alam. Apakah itu bukan salah kaprah namanya…..?
Asal – Usul Pencinta Alam.
Kelahiran pencinta alam di
Indonesia memang tidak diketahui secara pasti tanggal dan bulannya. Namun yang
jelas, cikal bakal kegiatan ini mulai hadir sekitar tahun 60-an. Konon
istilahpencinta alam itu sendiri pertama kali dikenalkan oleh ( Alm. ) Soe Hok
Gie, salah satu pendiri Mapala UI. Namun penulis sendiri yakin, bahwa almarhum
tidak akan pernah menyangka bila istilah yang diperkenalkannya itu kelak akan masuk
ke dalam kosa kata Bahasa Indonesia, karena awal kehadirannya pun “ Cuma “
sebuah rangkaian kecil dari sejarah politik Indonesia pada saat itu.
Keteika Presiden Soekarno semakin terpengaruh oleh Partai Komunis Indonesia,
atmosfir politik di Indonesia otomatis terpecah menjadi dua. Satu pihak yang
berada di belakang Soekarno menyebut dirinya sebagai kelompok Revolusioner,
sementara pihak yang tidak sejalan dengan garis kebijaksanaan Seokarno dianggap
kelompok kontra-revolusioner atau kelompok reaksioner. Ternyata, kondisi
seperti itu merambah pula dalam dunia kampus. Mahasiswa ikut-ikutan terpecah
menjadi dua, yaitu kelompok mahasiswa revolusioner dan kontra-revolusioner.
Di antara kelompok mahasiswa yang saling bersebrangan itu, ada juga kelompok
mahasiswa yang bersikap netral meskipun lokal sifatnya. Di Jakarta, ada
kelompok mahasiswa yang menamakan dirinya Ikatan Mahasiswa Djakarta ( IMADA )
serta Gerakan Mahasiswa Djakarta ( GMD ). Di Bandung sendiri organisasi
mahasiswa yang bersikap netral adalah Perhimpunan Mahasiswa Bandung ( PMB ) dan
Corps Studiosorum Bandungense ( CBS ).
Pertentangan antara kedua
kelompok mahasiswa itu kian hari kian menguat frekuensinya. Masing-masing
berusaha untuk saling menjegal satu sama lain. Dalam ruang lingkup yang lebih
kecil, kemelut politik yang sebenarnya akar permasalahannya justru berada di
luar kampus itu mulai ‘ menyerang’ ke dalam fakultas, tak terkecuali Fakultas
Sastra Universitas Indonesia ( FUI ) harus terkena pula imbasnya. Sampai-sampai
dalam pemilihan ketua senat pun, para kandidat yang muncul adalah
mahasiswa-mahasiswa yang membawa bendera-bendera organisasi tertentu. Namun
ternyata, tekanan dari kelompok revolusioner kian lama kian menguat, dan
kelompok yang netral justru semakin terjepit diantara kekuatan –kekuatan
tersebut.
Dalam kondisi terjepit seperti
itu. Kelompok netral yang berada di FSUI mencoba untuk “ menggeliat” dengan
melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan itu. Baik di lingkungan kampus maupun
di luar. Kelompok yang semakin hari semakin banyak peminatnya itu dimulai “
melawan” dengan cara sendiri. Seperti menyelenggarakan diskusi, memutar film
dan kegiatan lainnya. Sementara untuk kegiatan keluarnya, mereka selalu
memiliki agenda untuk menyelenggarakan perjalanan bersama ke gunung-gunung maupun
ke dusun-dusun sepi.
Rasa senasib sepenanggungan dalam
perjalanan, terkucil dari “keramaian “ politik serta rasa terpencil itulah yang
membuat mereka bersama-sama untuk “ berkeluh kesah “ pada Sang Pencipta. Mereka
adalah kelompok mahasiswa yang tidak rela almamaternya ( FSUI ) dijadikan ajang
pertarungan politik guna kepentingan luar. Kemudian kelompok ini menamakan diri
sebagai pencinta almamater. Selain dimotori (Alm.) Soe Hok Gie, juga ada Herman
O. Lantang, Asminur Sofyan Udhin, Edi Wuryantoro serta Maulana.
Dalam skala kecil, hikmah yang
bisa diambil oleh mereka adalah mendapatkan kawan yang senasib sepenanggungan
sementara lingkup yang luasnya, yaitu bahwa ternyata untuk mencintai dan
membangun negara tercinta tidak selalu harus dengan cara berpolitik. Masih ada
cara lain selain saling “ sikut-sikutan” guna kepentingan penguasa. Mendaki
gunung misalnya.
Atas dasar pengalaman serta
penderitaan itulah yang kelak kemudian menjadi cikal-bakal organisasi yang
untuk pertama kalinya menggunakan istilah pencinta alam, yaitu Mahasiswa
Pencinta Alam (Mapala) Prajnaparamita FSUI. Prajnaparamita sendiri adalah
lambing jati diri dari FSUI yang berarti Dewi Kesenian dan Ilmu Pengetahuan
dalam mitologi India, karena memang pada saat itu Mapala hanya milik FSUI. Baru
pada tahun 1971, ketika Mapala resmi menjadi bagian dari Unit Kegiatan
Mahasiswa di UI, maka para pendirinya dengan tulus melepaskan hak atas nama
Prajnaparamita itu.
Pada perkembangan selamjutnya,
ketika organisasi seperti itu mulai menjamur, para “ elite” pencinta alam di
tanah air mulai merasakan bahwa sudah tiba waktunya dibentuk suatu Kode Etik
bagi pencinta alam. Setelah beberapa tahun dirumuskan, baru pada Gladian ke-IV
lah kode etik bagi pencinta alam dikumandangkan di Ujungpandang ( Makassar).
Antara Lalu dan Kini : Hakekat
Yang Telah Bergeser.
Berdasarkan kisah di atas,
jelaslah kiranya bahwa fenomena kelahiran pencinta alam di Indonesia pada
mulanya hanya didasari oleh sikap “ perlawanan” dan hasil “kontemplasi” dari
sekelompok mahasiswa FSUI terhadap establishment ( kemampuan ) atau bisa jadi
juga sebagai bentuk escapisme ( pelarian ) dikarenakan rasa tidak berdaya,
aliansi dan anomi.
Dalam lingkup kegiatannya,
idealisme memang diwujudkan di sini. Sampai sekarang pun, idealisme itu masih
tetap terpelihara dengan tidak berdirinya organisasi pencinta alam – baik itu
berada di SMU, Universitas maupun yang berdiri sendiri – pada satu kekuatan
atau warna politik tertentu. Karena sampai saat ini, belum pernah kita dengar
ada organisasi pencinta alam yang demo kepada pemerintah menuntut “ jatah”
kursi di DPR. Kode etik yang diikrarkan pada tahun Namun setelah lima puluh
tahun berlalu, idealisme dan makna serta hakekat pecinta alam itu sendiri
semakin luntur. Kode etik yang diikrarkan pada tahun 1974 kini hanya menjadi
slogam belaka atau sekedar lips service saja, karena baru akan dikumandangkan
pada saat kode etik itu memang perlu dibacakan. Misanya, tiap
diselenggarakannya diksar. Tapi ironisnya, hal itu tidak masuk pada perilaku
kehidupan sehari-hari.
Kalau sudah begini, maka urusan
pelestarian alam yang jelas-jelas tertuang pada kode etik tersebut hanya
menjadi omong kosong belaka. “ Penyakit “ seperti itu kian waktu semakin
merasuk di kalangan pencinta alam. Akibatnya adalah semakin banyaknya para pencinta
alam yang tidak menyadari keberadaan dirinya. Padahal seharusnya mereka
memiliki point yang lebih daripada orang-orang yang tidak pernah / belum
memasuki organisasi pecinta alam, khususnya soal kesadaran dan kepeduliaan akan
lingkungan hidup. Bukankah inti dari kode etik itu adalah soal kesadaran akan
alam dan upaya manusia untuk mencintai alam.? Yang berarti pula mencoba untuk
mencintai Sang Pencipta lewat kegiatannya tersebut.
Sebagai bagian dari suatu
masyarakat yang lebih besar, sudah saatnya kalangan pencinta alam tidak menutup
diri dari perkembangan yang terjadi di luar dirinya. Dari tahun ke tahun,
organisasi semacam ini dituntut untuk terus berpartisipasi aktif guna mengisi
pembangunan di tanah air. Karena memasuki abad 21ini, pilihan yang berada di
depan hidung para pencinta alam semakin banyak dan kompleks sementara makna
serta hakekat dari pencinta alam itu sendiri sebagai pelestari alam semakin
kabur jauh entah kemana.
Sepertinya, sudah tiba saatnya
organisasi para pencinta alam “ bersatu “ kembali guna mengembangkan ide serta
bentuk kegiatan yang bermanfaat dalam bentuk yang konkrit. Hal ini bukan saja
buat dirinya tetapi juga buat masyarakat, tempat di mana golongan ini hidup dan
berkembang. Terutama sekali buat “ Ibunda “ kita semua, yakni alam terbuka.
Tempat dimana kita bermain dan berkegiatan . Semoga…….
( Dimuat di Majallah Wanadri
Edisi 9 Juli – Agustus 2001